Memasarkan Literasi Keuangan melalui Pinjaman Digital di Indonesia


2nd Des 2020, Industri

Indonesia adalah salah satu pasar underbanked tertinggi di Asia Tenggara. Kelompok sosial-ekonomi rendah antara tidak memiliki rekening bank dan tidak memiliki sistem tabungan serta dana darurat demi memenuhi kebutuhan masa depan mereka. Dari segi pinjaman, hampir 70% UMKM tidak memiliki akses ke perusahaan jasa keuangan untuk mendapatkan permodalan. Sesuai survei OECD, alasan utama yang dikutip untuk hal yang sama adalah rendahnya literasi keuangan, masalah seputar infrastruktur, serta keterbatasan modal dan sumber daya.

Mengingat rendahnya penetrasi perbankan di dalam negeri, pemerintah bersama pembuat kebijakan keuangan Indonesia mengambil tantangan dan mendorong digitalisasi serta adopsi teknologi. Dengan demikian menghasilkan kemunculan masif pemain e-commerce, platform peer to peer (P2P), dan perusahaan fintech dalam beberapa tahun terakhir. Mereka memanfaatkan peningkatan penetrasi internet di dalam negeri dan memanfaatkan teknologi untuk menyediakan masyarakat Indonesia akses yang lebih baik terhadap produk finansial serta pilihan investasi. Program e-wallet, pembayaran tol elektronik, dompet digital, investasi reksadana, dan tabungan diluncurkan dan dipromosikan untuk meningkatkan cakupan layanan perbankan. Para perusahaan fintech ini sebagian besar melayani kebutuhan penduduk yang tidak memiliki rekening bank dan tidak mengenal layanan perbankan atau subprime debitur yang telah sepenuhnya ditinggalkan oleh bank. Perusahaan P2P mulai memberikan pinjaman kepada UMKM dan individu dan juga mulai menerima simpanan dan investasi dari peminjam subprime ini. Sebagai hasil dari upaya ini, populasi unbanked di Indonesia menurun dari 64% di tahun 2016 menjadi 51% pada  tahun 2019. (Sumber: PWC dan Asosiasi Fintech Indonesia).

Covid 19 dan Sektor Jasa Keuangan Indonesia

Perekonomian Indonesia maupun bank dan sektor jasa keuangan telah tumbuh secara substansial sebelum covid. Dengan giat literasi keuangan, penetrasi perbankan serta perusahaan fintech dan portofolionya tumbuh secara eksponensial. Namun, karena larangan serta pembatasan sosial diberlakukan terkait Covid -19, ekonomi Indonesia mengalami penurunan PDB untuk pertama kalinya dalam 20 tahun. PDB Indonesia turun ke poinf -5,3 persen yoy di kuartal kedua tahun 2020. Hal ini menyebabkan hampir tidak ada pertumbuhan dalam buku pinjaman bank formal karena mereka mulai menghindari pemberian pinjaman dan tidak mengambil risiko.

Situasi ini terbukti menguntungkan bagi digital fintech dan perusahaan P2P. Perusahaan-perusahaan ini mendorong produk dan penetrasi mereka lebih dalam ke pasar dengan memasarkan literasi keuangan dan pembayaran digital. Struktur pinjaman pemain P2P yang secara keseluruhan lebih mudah serta tanpa agunan membuat proses digital menarik lebih banyak peminjam dibandingkan dengan bank. Sebagai imbalannya, perusahaan-perusahaan ini juga menawarkan tingkat pengembalian yang lebih tinggi kepada para penanam modal yang memikat para peminjam subprime ini. Hasilnya, perusahaan P2P melihat pertumbuhan portofolio sebesar 135% pada bulan Juli tahun 2020 dibandingkan dengan bulan Juli di tahun 2019

Analisis resiko

Analisis risiko melibatkan studi tentang non-performing loans (NPL) serta struktur regulasi secara keseluruhan. Seperti halnya di seluruh dunia, bank di Indonesia tunduk pada kepatuhan dan peraturan yang lebih tinggi dibandingkan dengan platform fintech dan P2P. Secara umum, struktur platform digital yang tidak memiliki regulasi ini menyebabkan pertumbuhan yang lebih tinggi dalam buku simpanan dan pinjaman mereka, di mana mereka memanfaatkan para peminjam yang tidak memiliki rekening bank serta sangat membutuhkan keuangan dan modal. Di sisi lain, penyaluran kredit yang sembrono kian berdampak pada peningkatan rasio NPL. Sebagai perbandingan, rasio NPL bank berada di angka 3,22% pada Juli 2020 sedangkan untuk P2P berada pada 7,22%. Ini menunjukkan portofolio berisiko yang dimiliki pemain P2P dibandingkan dengan bank.

Mitigasi Risiko

Melihat banyak nya pertumbuhan buku pinjaman yang tidak teregulasi dari pemain P2P dan peningkatan rasio NPL mereka, regulator keuangan Indonesia menyadari peningkatan risiko keuangan yang ditimbulkan oleh struktur ini dalam waktu dekat. Selain itu, mengingat profil peminjam yang lebih berisiko serta keterbatasan pengetahuan mereka yang mengenai pasar dan produk keuangan, menjadi semakin penting bagi regulator untuk meningkatkan kontrol pengawasan atas perusahaan-perusahaan ini. Sebagai permulaan, regulator pertama-tama melarang sejumlah besar perusahaan P2P ilegal untuk melakukan bisnis. Kedua, memperkuat upaya dalam giat publikasi pengetahuan digital di antara para peminjam. Program-program ini tidak hanya dimaksudkan untuk peminjam baru tetapi juga dimaksudkan untuk mendidik debitur yang ada mengenai bagaimana mereka harus membayar cicilan tepat waktu secara online atau melalui aplikasi seluler.

Inisiatif Utama di Masa Lalu

Studi Kasus: Tokopedia

Untuk meningkatkan kebiasaan menabung di kalangan masyarakat berpenghasilan rendah serta mendorong inklusi keuangan, platform e-commerce Tokopedia meluncurkan kampanye “Rabu Nabung”. Tokopedia meluncurkan berbagai produk investasi digital seperti reksadana dan pinjaman emas yang membutuhkan investasi kecil sehingga masyarakat kelompok lemah pun dapat berinvestasi. Tokopedia bekerja sama dengan Pegadaian dalam produk investasi emas, sedangkan untuk produk reksadana bekerja sama dengan PT Bareksa Portal Investasi sebagai agen penjual, Syailendra Capital dan Mandiri Manajemen Investasi untuk pengelolaan investasinya.

“Kampanye ini juga berupaya untuk menanamkan keterampilan pengelolaan keuangan yang lebih baik kepada masyarakat sedini mungkin. Mereka perlu menabung dan menginvestasikan uang sebagai suatu kebiasaan dan mereka juga bisa mulai dari yang kecil, ”kata Fintech Senior Lead Tokopedia, Marissa Dewi. (Sumber: “Jakarta Post”). Akibat kampanye tersebut, jumlah investor reksadana di Tokopedia berlipat ganda sejak pertama kali diluncurkan, dengan total transaksi 27 kali lipat untuk produk yang sama. Sementara itu, Tokopedia juga melihat jumlah orang yang berinvestasi emas bertambah 20 kali lipat, dengan jumlah transaksi dikalikan 20 kali lipat.

Dengan demikian, seperti terlihat di atas, dorongan digital dan literasi keuangan memberikan kenaikan bagi bisnis P2P di Indonesia. Namun, pertumbuhan dan kenaikan yang tiba-tiba ini membawa serta serangkaian tantangan seperti operator yang curang, peminjaman yang berlebihan dari konsumen, gagal bayar dan masalah penagihan cicilan. Setelah menyadari masalah yang cukup mengkahwatirkan ini, para regulator dan juga pemerintah mengambil pendekatan komprehensif tidak hanya mendidik peminjam dan investor tentang manfaat tabungan tetapi juga menjelaskan kepada mereka tentang hak dan ancaman yang mereka timbulkan oleh saluran alternatif pembiayaan ini serta risiko terkait cyber security. Beberapa contoh tindakan tersebut adalah sebagai berikut:

OJK dengan Peraturan No. 77 / POJK.01 / 2016 tentang Layanan Pinjaman Berbasis Informasi melarang platform P2P dari pooling capital dan mewajibkan mereka untuk mengajukan laporan setiap bulan ke OJK. OJK bekerja sama dengan Satgas Waspada Investasi untuk memblokir 574 platform P2P ilegal dari operasi, sejak pandemi dan dalam 3 tahun terakhir OJK telah memblokir sekitar 2.591 platform ilegal.

OJK bersama asosiasi industri fintech Indonesia, Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) hadir untuk memperkenalkan penjagaan guna memastikan perwakilan manusia siap menjawab pertanyaan dan keluhan pelanggan terkait informasi produk, pembayaran cicilan serta penagihan.

Regulator Bank Indonesia telah mendorong QR Code Indonesian Standards (QRIS) yang memungkinkan satu kode QR digunakan untuk menerima pembayaran menggunakan instrumen e-money yang berbeda. Para pelaku industri diminta untuk membakukan dan berkolaborasi dalam implementasi yang sama.

Selain itu, mereka meningkatkan regulasi dan kontrol mereka pada platform fintech ini dengan mengelola cara pengumpulan cicilan. Regulator juga mulai mendidik peminjam tentang meningkatnya risiko cyber security yang terkait dengan pinjaman digital. Melalui langkah-langkah literasi keuangan ini tidak hanya mereka menganjurkan pinjaman digital tetapi juga mengkomunikasikan kepada peminjam tentang masalah-masalah seperti penjualan yang salah, pinjaman yang berlebihan, penipuan seperti phishing, serangan peretasan, penggunaan data yang tidak sah, dll

Jalan Ke Depan

Literasi keuangan adalah pengetahuan keuangan tentang investasi, tabungan, kredit, dan manajemen utang yang membantu dalam membuat keputusan yang bertanggung jawab secara finansial. Kurangnya pengetahuan berdampak pada keseluruhan kehidupan peminjam seperti uang, tabungan, serta dana pensiun mereka bisa hilang. BI dan OJK telah mengambil beberapa langkah untuk memperkuat inklusi finansial, kemudahan akses layanan finansial, dan kegiatan keuangan, dengan memfasilitasi kolaborasi antara industri perbankan dan perusahaan fintech. Namun, pemerintah perlu lebih lanjut menyusun peta jalan inklusi keuangan yang jelas, bersama dengan rincian pelaksanaan teknis yang jelas, untuk memberikan petunjuk kepada lembaga keuangan tentang investasi konkret yang perlu mereka lakukan untuk mempercepat inklusi keuangan dalam beberapa tahun ke depan