Mencegah Krisis P2P Lending di Indonesia

Peminjam di bebankan dengan bunga yang tidak masuk akal (hingga 2% per hari) belum lagi biaya administrasi yang tidak transparan sehingga berujung hutang yang menggelembung.

14th Agu 2019, Industri

Debitur yang kelimpungan membiayai pinjaman mereka terpaksa harus meminjam lagi dan lagi, lantas mereka terjebak ke dalam pusaran kejam P2P lending.

 This article was featured on Jakarta Globe.

 Peer-to-peer, atau P2P lending, sempat di gadang-gadang menjadi solusi seputar permasalahan pemerataan finansial: bagaimana cara untuk membantu kaum ekonomi lemah keluar dari garis kemiskinan?

Berkat perkembangan dan penetrasi penggunaan perangkat pintar lahirlah sistem untuk memberikan bantuan kepada segmen pasar yang di anggap “berisiko”, dan dapat pula meminimalkan biaya perantara.

Pada tahun 2018 tercatat sekitar 66%  penduduk Indonesia tidak memiliki akun bank, dan uang dalam bentuk tunai menjadi raja dalam bertransaksi. P2P lending menjadi jalan keluar bagi mereka yang membutuhkan dana, begitu pula sebaliknya bagi penyedia pinjaman yang mendapatkan keuntungan yang lebih besar dibanding bentuk investasi manapun kala itu.

Lalu, semua nya berantakan.

Lintah darat berkedok P2P lending

Pada bulan Januari tercatat P2P lending memasuki urutan ketiga sektor finansial yang paling banyak di keluhkan. Kisah pelecehan kriminal masih dapat di temui di laman media sosial dengan tagar #korbanpinjol atau #korbanfintech yang menceritakan pengalaman memalukan dari korban dengan pesan untuk tidak mengambil pinjaman daring.

Peminjam di bebankan dengan bunga yang tidak masuk akal (hingga 2% per hari) belum lagi biaya administrasi yang tidak transparan sehingga berujung hutang yang menggelembung.

Intimidasi, pelecehan seksual, pembobolan data pribadi, pemerasan serta pemaksaan terhadap teman dan keluarga peminjam kerap mewaranai pada saat masa penagihan. Taktik yang sering dilancarkan oleh para penagih adalah dengan cara membuat grup WhatsApp dan kemudian memasukkan nama teman, keluarga, rekan kerja dengan tujuan untuk mempermalukan peminjam yang sudah habis masa tenggat. Penagih akan mencap peminjam dengan julukan “buronan” yang harus di buru. Penagih juga tidak segan memaksa nama-nama yang sudah dimasukkan ke dalam grup tersebut untuk memberikan info keberadaan atau lokasi “persembunyian” peminjam.

Sayangnya, imbas dari suku bunga tertunggak  yang tinggi dan tanpa adanya strategi penagihan yang baik, dapat membuat perusahaan berbadan hukum resmi sekalipun mengambil langkah-langkah nekat dengan menyewa jasa penagihan yang megandalkan taktik barbar dalam mengejar pihak terhutang.

Pada bulan Februari lalu, seorang supir taksi yang menjadi korban pelecehan, melakukan bunuh diri karena terhimpit hutang dari 20 debitur berbeda. Dalam pesan terahir yang di tulis nya, korban menyatakan permohonan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk melarang praktek peminjaman daring, karena menurut nya merupakan “jebakan setan”.

Kasus supir taksi ini menunjukkan dua masalah terbesar dalam P2P lending

pelecehan terhadap peminjam dan peminjam yang sudah pasti akan gagal membayar jika mereka meminjam dari terlalu banyak pihak.

OJK bahkan menemukan salah satu kasus dimana satu orang peminjam memiliki pinjaman dari 40 debitur.

OJK pernah mencoba untuk meregulasi pasar terkait pinjaman daring, tetapi sangat tidak mungkin untuk menerapkan regulasi kepada sesuatu yang maya seperti internet. Saya bisa menyampaikan pengalaman pribadi saya, tetapi kami semua tidak sama.

Pelajaran, yang belum kami pahami.

Permasalahan Cina dengan P2P lending lebih sering berakar dari gagal nya membayar pinjaman yang membuat suku bunga semakin tinggi dan menutup platform P2P lending, serta mengambil tabungan investor.

Filipina, sebagai salah satu penerima P2P lending, menghadapi masalah yang tidak jauh beda dengan Indonesia, begitu pula dengan Vietnam.

Dan tahapan nya akan selalu sama.

P2P lending mendapatkan perhatian yang signifikan karena memberikan “sebuah solusi pasti”, kemudian investor mulai memompa dana ke banyak platform. Kemudian industri ini menjadi tercemar dengan pemain jahat yang memberikan biaya yang tidak masuk akal. Dengan kombinasi tersebut dan tidak adanya strategi penagihan hutang menghasilkan debitur yang putus asa. Kreditur mulai melaporkan tindak pelecehan oleh platform. Dan semua pun rugi.

Para pembuat kebijakan dibuat repot dengan situasi yang semakin memburuk. Sekarang kita sampai di satu pertanyaan penting: Dapatkah kita mencegah semua ini?

Peminjam perlu belajar kemampuan dasar financial

Individu berpenghasilan rendah sering kali tidak sepenuhnya memahami konsep suku bunga, membuat mereka menjadi sasaran empuk ketika ditawarkan jadwal angsuran mingguan. Apabila penyedia pinjaman memanfaatkan si peminjam, mereka tidak akan bisa menentukan kesalahan yang sudah terjadi, atau apa yang dapat dilakukan.

Faktanya pun, mereka yang mendapatkan penghasilan rendah bahkan tidak memiliki kemampuan manajemen keuangan yang dibutuhkan untuk menangani hutang, yang mana berkontribusi terhadap suku bunga tertunggak yang tinggi, dan ketidakmampuan untuk mencari solusi terhadap permasalahan yang disebabkan oleh hutang selain mencari pinjaman dari penyedia pinjaman yang memiliki reputasi buruk.

Macam-macam manfaat sosial yang mungkin dapat dirasakan dari peninggakatan akses terhadap produk-produk finansial kemudian terhambat karena kurang nya pengetahuan dalam bagaimana benar-benar memaksimalkan penawaran yang disediakan.

Sekitar tahun 2017, KPMG telah memperhatikan masalah ini, dan sekarang menjadi kenyataan. Peminjam yang dibekali edukasi dapat memeberikan perlindungan diri mereka sendiri terhadap peyedia pinjaman yang jahat, dan yang paling penting, peminjam dapat mengambil keputusan yang memang dapat memberikan benefit finansial secara jangka panjang.

Pemeriksaan kredit: Perlukah?

Pengecekan kredit menjadi suatu keharusan utama dalam P2P lending, tetapi kegagalan industri terkadang mengingatkan kita: ada alasan kenapa pengecekan kredit menjadi suatu keharusan pada awal nya.

Industri P2P lending harus membuat pengecekan kredit yang kokoh, dan harus dilakukan tanpa pengecualian yang mana sebelumnya kurang terlayani.

Beruntunglah, penilaian kredit pihak ketiga telah diluncurkan untuk menjembatani celah penting ini. Solusi seperti penilaian kredit berbasis smartphone memanfaatkan artificial intelligence untuk mendapatkan informasi mengenai kelayakan nilai kredit suatu kandidat langsung dari smartphone mereka dan penyedia pinjaman dapat menyediakan sarana finansial yang adil bagi peminjam ditengah sistem tradisional yang gagal.

Bahkan juga sudah ada solusi penagihan hutang dengan bantuan artificial intelligence.

Penagihan hutang yang etis dan personal.

AsiaCollect bekerja keras membantu perusahaan mengurus kredit yang bermasalah, dari menawarkan penasehat manajemen kredit dan solusi Software-as-a-service (SaaS), sampai ke tahap pembelian portfolio hutang.

Artificial intelligence dan machine learning dapat di gunakan untuk menganalisa tingkah laku dan psikologi emosional dari peminjam, dengan begitu memungkinkan operator call center untuk berkomunikasi secara efektif dengan berbagai macam tipe kepribadian. Platform kami juga dapat mengindetifikasi waktu dan medium (SMS, email, sosial media) yang terbaik untuk menjangkau nasabah, sehingga memberikan interaksi dan tingkat pembayaran yang lebih tinggi.

Tingkat pembuatan profil dan penargetan peminjam yang lebih cerdas ini tidak hanya meningkatkan kemungkinan menjangkau peminjam, tetapi juga tingkat pengembalian dari setiap target individu.

Platform P2P lending dapat mengambil manfaat dari penagihan hutang dengan pendayagunaan teknologi, selain itu platform ini juga dapat bernaung dibawah berbagai macam organisasi, dari penyedia jasa penagihan dan penyedia pinjaman digital, hingga bank dan institusi non-bank. Sebuah pendekatan pengembalian hutang yang humanis dan tertarget, serta mengurangi kemungkinan paparan citra buruk bagi perusahaan.

Mungkin sebagai sebuah industri, kita perlu melalui kesulitan yang buruk, agar dapat lebih memahami “pedang bermata dua” yang telah kita biarkan masuk ke dalam pasar. Untuk menjawab pertanyaan sebelum nya diatas – ya, saya percaya bahwa tragedi ini dapat kita hindari.

Para pemain industri harus bisa menghasilkan visi implemantasi P2P lending secara holistik ke pasar yang baru, dengan mempertimbangkan siklus hidup peminjam.

Satu pertanyaan krusial dalam mengedepankan upaya-upaya ini: Apakah kita benar benar mengerti siapa saja yang membutuhkan P2P lending? Saat kita paham, langkah selanjut nya akan mengalir secara alami.