Tren Pelunasan Oleh Konsumen di masa Resesi


2nd Nov 2021, Industri

Pandemi Covid-19 terus menerus mempengaruhi kehidupan dan mata pencaharian secara global. Ini juga yang menggiring negara dan perekonomian ke dalam resesi yang karakter serta dampaknya masih sulit untuk dievaluasi. Kerugian terhadap bisnis, ekonomi dan individu menjadi jelas namun seberapa parah, masih belum diketahui.

Tantangan yang berkaitan dengan pelunasan konsumen dan tekanan kredit juga meningkat. Namun, karena tingkat kehancuran masih belum diketahui, sulit bagi peminjam dan penyedia pinjaman untuk mengukur kerentanan mereka. Di saat sepert ini, langkah-langkah apa yang dapat diambil oleh sistem keuangan untuk melindungi pembukuan mereka dan di saat yang sama juga berlaku adil dengan peminjam mereka?

Karena menipisnya tabungan, turunnya pendapatan dan turunnya harga aset, sebagian besar peminjam mencari keringanan dalam beberapa bentuk dari hutang berjalan mereka dan beberapa memilih unutuk membuka kredit baru demi mengelola tantangan pengeluaran dan pengelolaan sehari-hari ini. Penyedia pinjaman berpatokan dengan kebijakan dan pedoman yang diberikan oleh regulator mencoba memberikan keringanan sementara kepada peminjam melalui moratorium sementara atau penurunan suku bunga atau perlindungan dari klasifikasi bermasalah dll. Stimulus ekonomi untuk kredit baru telah dibayangi oleh masalah seputar pinjaman yang sedang berjalan dan kewajiban membayar hutang.

Kondisi Peminjam

Krisis Covid 19 membawa serta situasi yang tidak biasa serta penuh tantangan bagi peminjam dan penyedia pinjaman. Dengan adanya lockdown membuat aktivitas ekonomi melesu, sebagian besar perekonomi mulai masuk ke dalam resesi dengan PDB bertahan di angka rata-rata 4 persen di bawah tren, karena produktivitas yang lebih rendah, persediaan modal yang berkurang, dan pengangguran yang tinggi. Banyak usaha kecil, individu, dan konsumen kehilangan pendapatan, gaji, dan aliran dana. Kondisi ini memberikan tekanan terhadap keuangan mereka yang memaksa mereka untuk merogoh tabungan dan dana cadangan mereka. Namun, dalam sebagian besar kasus, usaha tersebut pun tidak cukup untuk mengelola kewajiban pembayaran utang berjalan, sehingga memaksa mereka mengajukan permohonan moratorium berdasarkan kebijakan yang telah di tetapkan.

 

Untuk memberikan gambaran perspektif terhadap dampak ini, menurut survei yang dilaksanakan oleh PaisaBazaar.com terhadap 8000 responden seputar tren yang muncul yang dapat mengubah gaya konsumen terhadap industri pinjaman, ditemukan bahwa hampir 65% peserta mengatakan bahwa pandemi telah berdampak negatif terhadap pendapatan mereka. Hanya 40% dari mereka yang mengajukan moratorium mampu membayar angsuran bulanan mereka dan 55% responden mengatakan mereka akan berkonsultasi dengan  penyedia pinjaman untuk merestrukturisasi pinjaman mereka kedalam beberapa bentuk untuk memberikan keringanan. Di Indonesia, pinjaman yang direstrukturisasi tumbuh menjadi sekitar 18,6% dari total pinjaman pada Agustus 2020, dan dapat terus meningkat. (S&P Global) Masalah lain adalah sebagian besar dari peminjam kecil adalah kurangnya sumber dana untuk dapat kembali berdiri mandiri.

Karena menurunnya arus kas serta menipisnya pendapatan, kelayakan kredit sebagian besar peminjam bisa dikatan telah sirna. Selain itu, kurangnya modal dan mengeringnya sumber pendapatan bagi lembaga keuangan juga membuat mereka rentan terhadap tantangan likuiditas. Skenario ini merupakan pukulan ganda dari apa yang diperlukan untuk membantu memulai pemulihan ekonomi melalui aliran kredit baru.

Ada laporan mengenai pinjaman yang sedikit  tersedia di Filipina (Dickler 2020; Rivas 2020). Maka, ketika permintaan mulai tumbuh dengan berbagai standar kredit yang ketat, keengganan penyedia pinjaman kemungkinan besar akan paling mempengaruhi golongan pendapatan rendah dan peminjam ritel. Di bawah situasi seperti itu, peminjan akan mencari sumber penyedia pinjaman yang tidak resmi yang sangat berisiko dan dapat mecelakakan para peminjam ini baik jangka pendek maupun Panjang.

Kondisi Penyedia Pinjaman

 

Secara bersamaan, penyedia pinjaman juga menghadapi situasi yang sulit. Mereka tidak dapat mengoperasikan cabang mereka dengan kapasitas penuh, pendapatan rutin mereka, penagihan dan likuiditas telah mengering karena moratorium pinjaman yang diajukan oleh peminjam. Meskipun tekanan keuangan dalam hal Portofolio berisiko dan tunggakan tidak meningkat pesat karena langkah-langkah bantuan yang diberikan oleh regulator namun tekanan dalam portofolio cukup jelas. Misalnya, Di Vietnam, regulator telah mengarahkan bank untuk memperpanjang keringanan hutang kepada peminjam yang terkena dampak, dan memudahkan persyaratan klasifikasi dan penyediaan pinjaman. Bank dapat menjadwal ulang pembayaran pokok/bunga untuk peminjam yang terkena dampak hingga satu tahun. Salah satu restrukturisasi tersebut diperbolehkan tanpa mengubah klasifikasi pinjaman. Bank yang yang telah dinilai oleh regulator dapat menjadwal ulang 1.5% – 4% dari pinjaman mereka pada pertengahan tahun 2020. Jadi sementara bank telah meningkatkan ketentuan pada tahun 2020, sebagian besar didorong ke tahun depan karena penangguhan. (S&P Global)

Tantangan Utama

 

Ini adalah masa-masa sulit, yang mengharuskan negara-negara Asia untuk menavigasi berbagai macam tantangan. Pandemi COVID-19 datang sebagai bentuk tantangan yang akan berlangsung lebih lama di kawasan ini: pertumbuhan produktivitas yang melambat, utang yang tinggi (India, Indonesia), penuaan populasi, dan peningkatan ketidaksetaraan (Indonesia, India, Filipina). Kebangkitan krisis terutama di India, pembatasan yang diberlakukan karena lockdown, hilangnya serta korban jiwa yang telah membuat posisi negara-negara ini sangat rentan. Posisi NPA bank yang sudah sangat tertekan dapat mendorong negara ke ambang krisis utang apabila tindakan seputar bantuan dan moratorium ditarik. Selanjutnya, di Indonesia yang masih terlalu

bergantung pada sektor informal untuk pendanaan, dukungan dari regulator dan pemerintah kemungkinan akan menjangkau dan mendukung yang paling rentan. Di bawah skenario yang keras tersebut, risiko yang berkaitan dengan praktik penagihan yang keras, biaya tak terduga, revisi suku bunga, kurangnya transparansi, dan pinjaman predator, dll tetap tinggi.

Mengatasi tantangan ini – solusinya

 

 

 

Kesimpulan

Dalam krisis kemanusiaan ini, adalah tugas lembaga keuangan, regulator, dan pemerintah untuk bersatu dan merencanakan tindakan penyeimbangan yang pelik. Sementara bank tidak dapat melonggarkan standar emisi  penjaminan mereka dan tidak dapat bermain dengan simpanan publik dengan menyediakan pinjaman tanpa henti, mereka juga tidak dapat bertindak sebagai Shylocks untuk memulihkan uang mereka. Di masa yang tidak terduga dan belum pernah terjadi sebelumnya ini, Lembaga keuangan, pembuat kebijakan, dan regulator memainkan peran penting dalam memastikan peminjam diperlakukan secara adil dan bertanggung jawab. Pendekatan yang berfokus pada pelanggan yang didasarkan pada data real time, teknologi, dan komunikasi terbuka harus digunakan untuk menyelesaikan krisis yang dihadapi saat ini.